Minggu, 29 April 2012

Cintai Pasangan Kita Apa Adanya

0 komentar

Memilih jalan dakwah sebagai jalan hidup, tentu saja memiliki konsekuensi yang harus diambil atau jalani manakala diri ini telah tersibghoh (tercelup) dengan nilai-nila Islam.

Hal ini bisa dilihat di dalam QS Al Baqarah: 208 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh) dan janganlah ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu”.

Salah satu konsekuensi yang harus diambil setelah memutuskan untuk berhijrah yaitu menikah tanpa melalui pacaran. Karena dalam Islam memang tidak ada konsep pacaran (lihat QS 17: 32). Bagi seorang aktivis dakwah yang telah memutuskan untuk menikah tanpa melalui proses pacaran (dikenal dengan istilah ta’aruf secara Islami), terkadang yang tergambar dibenak kita adalah seorang ikhwan yang akan menjadi pendamping hidup kita adalah seorang ikhwan yang benar-benar mengamalkan apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.

Ya, itu keinginan yang wajar serta manusiawi jika ingin pasangan hidup kita shalih/shalihah, menjaga pandangan pada yang bukan muhrimnya, berusaha selalu membantu pekerjaan isteri, dan sebagainya.

Selama ini penulis sering mendapatkan pertanyaan seputar rumah tangga, suami dan keluarga. Terkadang ada suami yang santai membaca koran, sedangkan isterinya sibuk memasak dan mengurus anak-anak, tanpa peduli untuk membantunya. Lalu bagaimanakah sikap kita terhadap pasangan hidup kita?

Berikut adalah tips bagaimana kita menyikapi pasangan hidup kita yaitu sebagai berikut: Pertama, terimalah ia apa adanya. Pernikahan adalah menyatukan dua keluarga besar yang berbeda suku, kultur dan budaya serta pola asuh yang diterapkan pada masing-masing keluarga. Tentu saja tidak mudah merubah karakter yang telah melekat pada pasangan hidup kita. Namun Insya Allah dengan ikut tarbiyah, tentu saja perlahan-perlahan kita berusaha untuk menjadi pribadi yang kaffah.

Jangan pernah sekali-kali menbandingkan pasangan hidup kita dengan pasangan hidup teman kita. Yakinlah bahwa Allah pasti memberikan jodoh yang sekufu untuk kita. Bukankah Allah tidak pernah mengingkari janji-janjiNya?

Kedua, pandai bersyukur atas anugerah suami yang shalih. Sebagai seorang aktivis tentu saja, alhamdulillah kita harus bersyukur pada Allah SWT, yang telah memberikan anugerah terindah dalam hidup kita yaitu seorang ikhwan yang se-visi dan se-misi dalam mengarungi rumah tangga dan juga dakwah yang mulia ini.

Coba kita bayangkan rumah tangga yang suaminya selingkuhlah, yang melakukan KDRT dalam rumah tanggalah, yang suami tidak salatlah. Sementara alhamdulillah, Allah SWT anugerahkan pasangan hidup kita yang selalu tilawah, rajin datang pertemuan mingguan, aktif dalam dakwah di masyarakat, mengerjakan yang sunnah. Sementara rumah tangga lain, mungkin suaminya sering berkata-kata kasar? Sementara kita?

Alhamdulillah, suami kita selalu berkata-kata lembut dan sangat menjaga perasaan kita, sebagai seorang isteri. Insya Allah karena suami kita memahami sebuah hadits yang mengatakan, “Sebaik-baik pria adalah yang paling baik sikapnya terhadap keluarga.” Nikmat Allah mana lagi yang kita dustakan?

Ketiga, saling menutup aib pasangan hidup kita. Sebagai aktivis, tentu saja kita juga manusia biasa yang tidak luput dari dosa dan kesalahan. Tetapi idealnya memang kesalahan para aktivis dakwah harus lebih sedikit dibandingkan yang lain. Bukankah kita selalu mengajak orang lain untuk menjadi lebih baik, kita harus lebih dahulu mengamalkan apa yang kita sampaikan/ceramahkan?

Sebaiknya dalam berumah tangga, aib pasangan hidup kita, harus kita tutupi, tidak perlu kita ceritakan pada orang lain, sekalipun kepada keluarga dekat kita. Biarlah semua hanya suami dan isteri saja yang tahu akan aib pasangan hidup kita. Yakinlah di setiap kekurangan pasangan hidup kita, pasti Allah berikan banyak kelebihan pada dirinya. Bukankah setiap pasangan hidup merupakan pakaian bagi pasangan hidupnya?

Keempat, saling meningkatkan diri dan potensi pasangan hidup kita. Sebagaimana kita ketahui, ada beberapa gambaran rumah tangga, yaitu rumah tangga laba-laba, rumah tangga seperti rumah sakit, rumah tangga seperti rumah tangga pasar dan rumah tangga kuburan. Yang terbaik adalah rumah tangga seperti rumah tangga masjid. Di mana dalam rumah tangga tersebut tercipta suasana saling asih, asah dan asuh.

Suami dan isteri pun harus meningkat dari sisi ketakwaan, dari sisi pendidikan, dari sisi ekonomi, sehingga tercipta rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Suami tidak boleh membiarkan isteri untuk tidak berkembang, terutama dari sisi tsaqofah (pengetahuan). Jika memang ada rezeki, tidak salah jika isteri diizinkan untuk melanjutkan kuliah kembali, atau meneruskan kuliahnya kembali (karena keburu dikhitbah) ketika skripsinya misalnya. Insya Allah indah sekali manakala kita mampu menciptakan rumah tangga seperti rumah tangga masjid.

Semoga dengan tulisan sederhana ini, insya Allah mampu memberikan semangat dan motivasi untuk kawan-kawan semuanya, yang shalih dan shalihah untuk segera mewujudkan niat yang suci yaitu menggenapkan setengah dien, yakinlah menikah tidaklah serumit dan sekompleks apa yang dibayangkan sebagian orang.

Justru dengan menikah, insya Allah kekuatan kontribusi dakwah akan semakin besar, karena di tengah lelahnya kita pulang berdakwah, sudah menanti pasangan hidup kita, yang siap kita berlabuh dan berbagi tentang suka duka kehidupan ini.

Insya Allah untuk masalah rezeki, yakinlah apa yang kita berikan untuk pasangan hidup kita, akan menjadi tambahan amal shalih kita dan akan Allah cukupkan rezekiNya bagi yang ingin menggenapkan setengah dien nya. Amin ya Robbal ‘Alamin.

Oleh: Zahrina Nurbaiti

Sumber :http://pkspesanggrahan.blogspot.com/2012/01/cintai-pasangan-kita-apa-adanya.html

Leave a Reply